Setiap hari, ada
begitu banyak bayi di lahirkan, bersamaan dengan itu, ada juga begitu banyak
bagian dari manusia yang mungkin kemarin kau lihat menghembuskan nafas
terakhirnya dan kembali bersatu dengan bumi.
Kemarin malam ibuku
bercerita tentang anak laki-laki dari buruh cuci miskin, anak laki-laki itu
masih sangat muda, mungkin baru sekitar 8 atau 9 tahun. Aku pernah melihatnya
dulu waktu akau masih tinggal dirumah ibuku. Anak laki-laki itu hitam dan kurus, seperti
kebanyakan anak-anak pribumi, sedikit tidak terawat. Tapi waktu itu dia masih
sangat sehat.
“ia terkena sakit
mata, mata bangkak sudah 2 tahun. Mama sudah bilang sama ibu nya. Bawa nakanya
kedokter specialis mata. Anaknya hampir buta. De tas-tas ransel kamu yang gak
kepake boleh mama kasih orang?”
Kata ibuku saat
menemaniku yang terbaring bosan diatas kasur. Maklum saja sudah 2 hari aku
tidak boleh beranjak dari kasur kecuali pergi kekamar mandi.
“boleh, kalo ada
yang mau baju sama sepatu uga boleh. lalu
kenapa gak dibawa kedokter?”
“ibunya bilang
gak punya biaya”
“kenapa mama kasih
uang, mamakan punya banyak uang?”
“udah,”
“terus? Kenapa gak
sembuh”
“kemarin mama
antar dia kedokter andi, lalu dokter andi bilang kena radiasi utravilet, lalu dokter andi kasih obat,
sama buatkan kaca mata untuk menahan utravilet
biar matanya gak tambah bengkak”
“ultraviolet maksudnya? Terus?”
“tadinya udah
agak mendingan, lalu kaca matanya dipecahin sama temen-temennya”
“loh kok? Masi SD
kan ma”
“ia, gak taw anak
SD sekarang jahat-jahat itu kaca matanya dibilang bohongan lalau dipecahin,
belum bikin kaca mata lagi, tadi pagi Ibunya ketoko jual perak. Katanya anaknya
mimisan gak berhenti-berhenti. Mama suruh dia bawa kedokter, dia bilang gak ada
uang”
“ya emang gak ada
uang. Cuci baju paling dapet berapa sih ma. Kenapa mama gak kasih uang lagi?”
“besok mama bawa
dia kedokter andi lagi”
“yang bayar?”
“mama”
“o”
Hanya kata ‘o’
yang keluar dari mulutku. Aneh ya. Anak itu yatim, dan miskin, dakit pula. Tapi
teman-temannya masih saja berlaku jahat dan tidak adil, padahal mereka masih
SD, sudah tahu caranya menyiksa orang lain. Entah bagai mana rasanya jika para
penyiksa itu ada dalam posisi anak sakit itu.
Sekarang aku
memang sedang sakit. Typus dokter bilang. Tapi baru 4 hari belum 2 tahun, dan
semakin hari semakin membaik. Aku punya cukup makanan untuk dimakan dan mama
punya cukup uang untuk membawaku kedokter. Aku punya teman-teman yang mendoakan
kesembuhanku sedangkan anak itu tidak. Terasa agak tidak adil baginya. Rasanya ingin
menangis bagaimanan orang kecil terus menderita seumur hidup mereka dan banyak
orang tidak peduli.
Dan rasa syukur
itu hadir, aku memang tidak tinggal dirumah tapi aku terpelihara, mungkin
kadang aku merasa sendiri, tadi aku tidak dibully, mungkin kadang aku merindu
dan rindu itu tidak berbalas, mungkin kadang rasa sakit dan lelah juga bosan menghatui
jantung dan hati tapi aku tidak sedang menderita, mungkin aku tersisih tapi aku
tetap dikasihi, entah dari mana kasih itu, meski datang dan pergi.
“mama udah
pulang, katanya mau kedokter andi?”
“gak jadi.”
“kenapa?”
“anak itu gak
butuh dokter lagi.”
“udah sembuh?”
“anak itu udah
mati”
“o”
Terasa agak tidak
adil baginya. Rasanya ingin menangis bagaimanan orang kecil terus menderita
seumur hidup mereka dan banyak orang tidak peduli. Aku melemah, tapi aku tidak mati. Entah bagaimana
wujud anak-anak kecil yang telah membuat satu nyama mati. Kalau mereka tahu,
entah mereka akan merasa bersalah atau tidak. Kalaupun bukan mereka penyebabnya
mereka memepercepat prosesnya.
Hari ini bumi
berduka, hujan turun dengan deras. Satu lagi seorang anak buruh cuci miskin
meningal dunia karna tidak tersedianya cukup uang untuk mengobati sakitnya. Karna
tidak tersedianya cukup uang untuk membayar obat-obatan dan tenaga ahli untuk
menopang kesembuhannya.
Hari ini bumi
berduka, tapi tidak ada satu pun yang berubah, aku masih tetap akan bersekolah
dan menjalani hari-hari seperti biasanya. Ibuku tetap bekerja, buruh cuci itu
tetap berkeliling mencuci pakaian orang dengan rasa gamang, orang-orang disekelilingnya
masih tetap berpangku tangan.
Tak ada yang
berubah, Mr. Presiden masih duduk nyaman di istana negara, dan para petinggi
negeri masih juga belum kenyang memakan uang rakyat. Para ulama, romo, dan
pendeta masih menyelubungi diri dengan kesuciannya yang menjurus kearah
munafik, Harga obat-obatan tidak juga menurun, dan anak-anak kecil nakal itu
tetap tertawa sambil membully mangsa baru. Tak ada yang berubah, hanya pakaian-pakaian
lusuh dan kasur kapuk yang sepi menunggu
pemiliknya kembali.